Senin, 23 November 2009

Penyelamatan Century Tak Gunakan Uang Negara

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyatakan dana penyelamatan atau bailout Bank Century senilai Rp 6,7 triliun tidak menggunakan dana APBN alias uang negara, sehingga tidak perlu persetujuan DPR.

Kepala Eksekutif LPS Firdaus Djaelani mengatakan, dana penyelamatan Bank Century ini menggunakan dana hasil premi perbankan yang diperoleh oleh LPS. Jadi uang yang telah dibayarkan ke Century bersumber dari premi yang dipungut LPS dari perbankan. Kami tidak menggunakan dana APBN, jadi tidak memerlukan laporan ke DPR.

Penyelamatan perbankan merupakan tugas LPS. Sampai saat ini saja, Firdaus menuturkan, LPS sudah mengeluarkan Rp 600 miliar untuk membayar klaim penutupan 16 BPR (Bank Perkreditan Rakyat) dan 1 bank umum yaitu Bank IFI.

Dalam kesempatan tersebut, Firdaus juga mengatakan, salah jika dikatakan dana penyelamatan Bank Century membengkak dari rencana awal yang disetujui DPR Rp 1,3 triliun menjadi Rp 6,7 triliun. Sebab, sejak awal LPS dan DPR tidak pernah membahas dan menyepakati besaran dana penyelamatan Bank Century.

Dana Rp 6,7 triliun tersebut sebanyak Rp 3,8 triliun digunakan untuk membayar Dana Pihak Ketiga (DPK) yang jatuh tempo, dan sisanya di SUN dan SBI hampir Rp 3 triliun, lalu untuk pembayaran biaya-biaya lainnya seperti pembayaran FPJP (Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek) dari BI.

Sementara mengenai pengucuran dana LPS sebesar Rp 2,8 triliun, yang menurut audit BPK tidak berdasar hukum karena ditolaknya Perpu JPSK (Jaring Pengaman Sektor Keuangan).

IHSG Dapat Dorongan Regional

Indeks Harga Saham Gabungan kemarin bergerak melemah tipis di tengah pergerakan bursa-bursa regional yang beragam. Investor kehilangan katalis sehingga membuat pergerakan IHSG malas-malasan.

Pada perdagangan, IHSG akhirnya ditutup melemah 5,949 poin (0,24%) ke level 2.481,416, setelah sempat melintas di teritori positif.

Kini sentimen positif datang dari penguatan bursa-bursa regional, meski tidak didukung oleh volume perdagangan yang tebal. Investor masih berjaga-jaga di tengah ketidakpastian yang masih menyelimuti lantai bursa.

Indeks Dow Jones industrial average (DJIA) tercatat menguat 132,79 poin (1,29%) ke level 10.450,95. Indeks Standard & Poor's 500 naik 14,86 poin (1,36%) ke level 1.106,24 dan Nasdaq naik 29,97 poin (1,40%) ke level 2.176,01. Namun perdagangan tidak didukung oleh volume perdagangan yang memadai.

Sementara Bursa Tokyo yang kemarin libur, dibuka masih flat. Indeks Nikkei-225 dibuka naik tipis 5,36 poin (0,06%) ke level 9.503,04.

Pergerakan bursa-bursa regional yang masih waspada itu membuat investor di lantai bursa Indonesia tidak terlalu bersemangat. IHSG pada perdagangan Selasa (24/11/2009) diprediksi akan bergerak variatif dengan kecenderungan menguat.

Saham-saham komoditas akan bergerak menguat seiring lonjakan harga-harga komoditas akibat melemahnya dolar AS.

Sabtu, 21 November 2009

Kejar Kredit 20%, Intermediasi Perbankan dan Situasi Politik Harus Dibenahi

Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan kredit bisa diatas 20% tahun 2010, hal tersebut dinilai cukup realistis dan valid jika dilihat dengan pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan mencapai 5,5% di tahun depan.

Namun, pertumbuhan kredit tersebut tidak akan mencapai target jika fungsi intermediasi perbankan tidak dibenahi, ditambah situasi politik yang belum kondusif juga akan mengakibatkan sulitnya kredit untuk tumbuh besar.

Ekonom Danareksa Research Institute (DRI) Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, jika bank sentral ingin mencapai target, maka fokus utamanya yakni membenahi fungsi intermediasi perbankan.

BI harus benahi fungsi intermediasi perbankan lebih dulu. Dalam jangka pendek ini, sebaiknya BI fokus untuk menurunkan suku bunga pinjaman (suku bunga kredit).

Saat ini, penurunan suku bunga kredit perbankan memang menunjukan penurunan namun hanya sedikit. Bunga kredit bank pada triwulan-III-2009 secara rata-rata hanya turun 0,69 poin menjadi 15,13% dari posisi pada kuartal II-2009 yang jumlahnya adalah 15,82%.

Purbaya mengatakan, jika perbankan belum juga menurunkan suku bunga kreditnya, maka kredit akan susah tumbuh. Jika trend pertumbuhan kredit yang turun seperti tahun 2009 ini terus berlangsung. Maka pertengahan tahun depan pertumbuhan kredit bisa jatuh kepada titik nol.

Fungsi intermediasi perbankan dalam menyalurkan dana simpanan masyarakat, menurut Purbaya dalam satu tahun ini memasuki trend penurunan. Ini berarti fungsi bank sebagai intermediasi masih terganggu, dan memang disebabkan oleh suku bunga kredit yang sulit turun. Terbukti dari pertumbuhan kredit yang sudah jatuh dibawah 10%.

Sehingga, lanjut Purbaya akibatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa terganggu. Selain mendorong pertumbuhan kredit, BI sebagai regulator juga harus bisa mendorong perbankan untuk menyalurkan lagi kreditnya.

Sementara itu, Kepala Ekonom Mandiri Sekuritas, Mirza Adityaswara mengatakan bahwa asumsi BI yang menargetkan pertumbuhan kredit diatas 20% cukup valid.

Tetapi menurut Mirza, hal tersebut harus didukung dengan situasi politik yang kondusif. Sayangnya saat ini situasi politik kembali memanas, sehingga bisa saja para pengusaha yang semula sudah positif menjadi agak ragu-ragu dalam melakukan ekspansi usaha.

Sebelumnya Pjs Gubernur BI Darmin Nasution menargetkan, pertumbuhan kredit di 2010 bisa lebih dari 20%, dengan semakin membaiknya prospek pertumbuhan ekonomi tahun depan.

Perusahaan Plat Merah Mendapat Kucuran Dana Rp. 22 Triliun dari BRI

Total kredit (outstanding) PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) yang disalurkan kepada sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencapai Rp 22 triliun di akhir Oktober 2009. Hingga akhir tahun 2009, bank plat merah itu mentargetkan bisa mengucurkan kredit sebanyak Rp 30 triliun kepada perusahaan plat merah.
Menurut Direktur Bisnis dan Kelembagaan BRI Asmawi Syam, total komitmen atau plafon kredit yang diberikan perseroan kepada perusahaan negara saat ini mencapai Rp 40 triliun.
Hampir semua kucuran kredit tersebut merupakan sindikasi bersama bank lain, dan hanya sebagian kecil saja yang dilakukan oleh BRI sendiri. Perusahaan plat merah yang saat ini sudah berkomitmen mengambil pinjaman dari BRI mencapai 47 perusahaan.
Hingga akhir 2008 lalu, kucuran kredit BUMN sudah mencapai Rp 16,5 triliun dengan NPL sebesar 0 persen. Jumlah ini masih di bawah plafon yang disediakan sebanyak Rp 22 triliun pada tahun lalu. Tahun depan, bank publik itu berencana fokus mengucurkan kredit di sektor minyak dan gas, pertambangan, infrastruktur, telekomunikasi dan perkebunan, khususnya gula.

Senin, 02 November 2009

Kasus Dalam Akuntansi

BHMN Rugikan Rakyat Miskin

Kebijakan pemerintah membuat seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Pemerintah (BHMN) dinilai merugikan rakyat miskin kebijakan yang diperkuat undang - undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) dinilai melanggar UUD 45.

Pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan itu karena belum saatnya negara kita menyamakan dengan pendidikan negara - negara maju. Seharusnya pemerintah membantu rakyat miskin dalam pengadaan pendidikan yang berkualitas, apalagi perguruan tinggi bukan untuk mencari keuntungan sebanyak - banyaknya melainkan untuk mencetak manusia yang cerdas.


Dengan menerapkan Badan Hukum Milik Pemerintah, kini masyarakat kurang mampu semakin susah untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Biaya kuliah naik 2 -3 kali lipat dari sebelumnya.

Menurut saya kurang tepat penerapan PT BHMN karena hal tersebut semakin mempersulit pelajar berprestasi yang kurang mampu. Biaya kuliah yang hampir manyamai biaya kuliah perguruan tinggi swasta dirasa berat untuk mahasiswa yang kurang mampu.



Kontroversi Maraknya Penerbitan SUN


Terkait dengan penerbitan SUN yang gencar akhir-akhir ini maka jumlah pembayaran bunga hutang mengalami peningkatan. Namun, pada RAPBN serta Nota Keuangan 2009 dituliskan bahwa porsi pembayaran hutang mengalami penurunan terhadap belanja negara. Rasio pembayaran bunga hutang terhadap PDB cenderung mengalami penurunan yaitu sebesar 2.3% pada tahun 2005 menjadi 2.1% pada tahun 2008.

Secara nominal, sepanjang kurun waktu 2005-2008, pembayaran bunga utang mengalami peningkatan sebesar Rp 31,8 triliun atau tumbuh sekitar 14,1% per tahun. Secara nominal, jumlah pembayaran bunga utang meningkat dari Rp 65,2 triliun pada 2005, menjadi Rp 79,8 triliun pada 2007, dan diperkirakan Rp 97,0 triliun pada 2008.

Pembayaran bunga hutang yang mengalami pertambahan dalam RAPBN 2009 disebabkan karena adanya jumlah yang outstanding dengan tingkat bunga yang semakin mahal. Yield obligasi yang mengalami peningkatan dikarenakan suku bunga serta inflasi mengalami peningkatan. Penerbitan SUN ini terkait dengan pemerintah harus meningkatkan jumlah pembayaran utang. Indonesia kini tidak layak lagi memperoleh pinjaman dari lembaga multinasional dengan syarat lunak dan berjangka panjang.

Jumlah Surat Utang Negara (SUN) netto pada tahun 2009 diperkirakan akan mengalami penurunan sebesar Rp 7 triliun menjadi nominal yang baru seesar Rp 110 triliun. Penurunan yield SUN pada bulan Juni sebesar 200 basis poin telah menunjukan kondisi fundamental serta espektasi dari pelaku pasar SUN baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang sudah mulai hadir. Jika yield SUN bagus yang diiringi dengan kondisi makro ekonomi yang stabil maka pemerintah dapat menerbitkan SUN dengan yield yang menurun.

Kebijakan penerbitan SUN harus berdasarkan prinsip kehati-hatian dikarenakan kelesuan kondisi investasi serta permasalahan politik dan gejolak pasar global. Pemerintah mengalami kesulitan dalam upaya optimalisasi fungsi obligasi negara. Manakala inflasi yang semakin meninggi, kebijakan penerbitan SUN akan menjadi sebuah kebijakan yang tidak lagi berbiaya murah bahkan mengandung risiko yang tinggi.

Minggu, 01 November 2009

PENCAIRAN DANA UNTUK BANK CENTURY

Pemberian bail out atau dana penyertaan oleh pemerintah kepada Bank Century yang membengkak hingga Rp 6,7 triliun dari semula hanya Rp 1,3 triliun terus menjadi bahan pembicaraan dan perdebatan seru. Bukan hanya di media massa, di kalangan para ahli, dan birokrasi pemerintahan, tapi juga di parlemen. Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan (Komisi XI) DPR RI terus mempersoalkannya.
Menurut Menkeu, keputusan menyelamatkan Bank Century pada 21 November 2008 itu tidak bisa dinilai berdasarkan kondisi saat ini. Sebab ketika itu kondisi perbankan Indonesia dan dunia mendapat tekanan berat akibat krisis global. Keputusan KSSK saat itu untuk menghindari terjadinya krisis secara berantai pada perbankan yang dampaknya jauh lebih mahal dan lebih dasyat dari 1988. "Dengan meminimalkan ongkosnya dan dikelola oleh manajemen yang baik maka Bank Century punya potensi untuk bisa dijual dengan harga yang baik," ucap Sri Mulyani. Menkeu pun siap dipanggil Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) guna dimintai keterangan seputar pengambilan kebijakan penyelamatan bank yang memiliki aset sekitar Rp 10 triliun itu.
Selain besarnya dana penyertaan, hal lain yang dipersoalkan kenapa Bank Century tak ditutup kabarnya ada nasabah besar yang dilindungi. Kabarnya, nasabah besar itu memiliki dana sekitar Rp 1 triliun hingga Rp 2 triliun. Harry Azhar, anggota Komisi XI DPR, menyebut nasabah besar itu antara lain Budi Sampoerna. Paman Putera Sampoerna, mantan pemilik PT H.M. Sampoerna itu disinyalir punya dana sebesar Rp 1,8 triliun di Century.
Munculnya Budi Sampoerna turut menyeret Komisaris Jenderal Susno Duadji. Isu tidak sedap merebak di kalanggan anggota dewan. Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri itu disebut-sebut dalam proses pencairan dana Budi Sampoerna. Keterlibatan Susno, seperti ditulis Majalah Tempo, terlihat dari dikeluarkannya surat Badan Reserse Kriminal pada 7 serta 17 April 2009. Surat itu menyatakan dana milik Budi Sampoerna dan 18 juta dolar AS milik PT Lancar Sampoerna Bestari di Bank Century "sudah tak ada masalah lagi".